SUBTANCE ABUSE
Penyalahgunaan zat secara sederhana dapat diartikan sebagai pola penggunaan berbahaya zat untuk mengubah suasana hati tujuan. Ensiklopedia
medis Medline itu mendefinisikan penyalahgunaan narkoba sebagai
"penggunaan obat terlarang atau penyalahgunaan obat resep atau
over-the-counter untuk tujuan selain yang yang mereka ditandai atau
dengan cara atau dalam jumlah yang selain diarahkan."Namun berbagai penyalahgunaan zat di masyarakat saat ini tidak sederhana itu.
Ada zat yang dapat disalahgunakan untuk mengubah suasana hati mereka efek obat yang tidak sama sekali - inhalansia dan pelarut - dan ada obat yang dapat disalahgunakan yang tidak mengubah suasana hati atau properti keracunan, seperti steroid anabolik.
Secara umum, ketika kebanyakan orang berbicara tentang penyalahgunaan zat, mereka mengacu pada penggunaan narkoba. Kebanyakan profesional di bidang pencegahan penyalahgunaan narkoba berpendapat bahwa setiap penggunaan obat-obatan terlarang adalah dengan penyalahgunaan definisi. Obat tersebut harus melanggar hukum di tempat pertama karena mereka berpotensi adiktif atau dapat menyebabkan efek kesehatan negatif yang parah, sehingga setiap penggunaan zat ilegal berbahaya dan kasar.
Yang lainnya berpendapat bahwa kasual, penggunaan rekreasi dari beberapa obat tidak berbahaya dan hanya menggunakan, bukan pelecehan. Yang paling vokal pendukung penggunaan narkoba adalah mereka yang merokok ganja. Mereka berpendapat bahwa ganja tidak adiktif dan memiliki kualitas yang bermanfaat banyak, tidak seperti "keras" obat-obatan.
Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa bahkan ganja mungkin memiliki efek fisik, mental, dan psikomotor lebih berbahaya dari pertama percaya, dan National Institute on Drug Abuse laporan bahwa pengguna ganja bisa menjadi tergantung secara psikologis, dan karena itu kecanduan.
Narkoba bukan hanya zat yang dapat disalahgunakan. Alkohol, resep dan over-the-counter, inhalansia dan pelarut, dan bahkan kopi dan rokok, semua dapat digunakan secara berlebihan berbahaya. Secara teoritis, hampir zat apapun dapat disalahgunakan.
Untuk berbagai zat, batas antara penggunaan dan penyalahgunaan tidak jelas. Apakah memiliki beberapa minuman setiap hari setelah bekerja untuk bersantai penggunaan atau melanggar? Apakah minum dua teko kopi di pagi hari untuk mendapatkan hari Anda mulai menggunakan atau melanggar? Umumnya dalam situasi ini, hanya individu sendiri dapat menentukan di mana ujung penggunaan dan penyalahgunaan dimulai. Lihat Apakah Anda Kecanduan?
Apakah Anda pikir Anda mungkin perlu pengobatan untuk penyalahgunaan narkoba? Ambil Drug Abuse Kuis Pengobatan Skrining untuk mencari tahu.
Ketika datang ke zat ilegal, masyarakat telah menetapkan bahwa penggunaan berbahaya, dan telah menempatkan larangan hukum atas penggunaannya dalam rangka melindungi individu dan untuk melindungi masyarakat dari biaya yang terlibat dengan sumber daya kesehatan, kehilangan produktivitas, penyebaran penyakit, kejahatan dan tunawisma.
Untuk melihat obat yang paling sering disalahgunakan, bagaimana mereka digunakan, nama jalan mereka, dan memabukkan dan kesehatan mereka melihat efek Obat Umumnya Disalahgunakan. Untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan yang sering diajukan, lihat bagian kami pada Obat Penyalahgunaan.
Meningkat, Perokok Pemula di Indonesia
Merokok dianggap sebagai budaya warisan, bukan sebagai masyarakat yang kecanduan.
Perokok pemula di Indonesia yang berusia 5-9
tahun meningkat dari tahun ke tahunnya. Bahkan, peningkatannya sebanyak
enam kali lipat dalam 12 tahun terakhir ini, yakni 71.126 anak di tahun
1995 menjadi 426.214 di tahun 2007.
Berdasarkan data dari World Health Organization tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ketiga di dunia setelah China dan India dengan jumlah perokok terbesar yakni lebih dari 68 juta penduduk Indonesia. Hal ini disampaikan oleh peneliti Quit Tobacco Indonesia (QTI), Retna Siwi Padmawati, dalam jumpa persnya di Yogyakarta, Rabu (30/5).
Ia pun menambahkan, kematian akibat rokok per tahunnya mencapai 427.948 orang. "Secara sosiologis bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly smoking. Merokok dianggap sebagai budaya warisan, bukan sebagai masyarakat yang kecanduan," tambahnya.
Rokok memiliki banyak dampak negatif baik dari segi kesehatan dan ekonomi. Penyakit yang ditimbulkan mulai dari pernafasan, paru-paru, dan ejakulasi dini pada pria. Sedangkan dari segi ekonomi, rumah tangga perokok yang menderita sakit akan kehilangan sebagian penghasilan. Rata‐rata 6 persen dari pendapatan perkapita di Indonesia dibelanjakan untuk rokok.
Seiring tingginya dampak merokok, perlu melakukan tindakan nyata untuk mengendalikannya. Di antaranya pelarangan merokok di tempat kerja di semua institusi, penyediaan kawasan/area merokok, layanan konseling berhenti merokok, serta pemberdayaan masyarakat dalam pengurangan dampak buruk.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY Sarminto menuturkan, berdasarkan hasil survei dinas kesehatan provisnsi DIY tahun 2009 menunjukkan bahwa 50 persen remaja SMA dan 30 persen remaja SMP di Yogyakarta pernah mencoba merokok. Angka merokok di DIY juga cukup tinggi mencapai 31 persen dari jumlah penduduk.
Di Yogyakarta, upaya penanggulangan bahaya rokok telah dipayungi oleh Perda nomor 5 tahun 2007 mengenai pengendalian pencemaran udara dan Pergub nomor 42 tahun 2009 tentang kawasan dilarang merokok. "Selanjutnya akan kita ajukan rancangan perda kawasan tanpa rokok di DIY," kata Sarminto.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Titi Savitri menambahkan perlu adanya keterlibatan serius perguruan tinggi untuk menghadapi industri rokok. Pasalnya, industri rokok saat ini dinilai semakin merajai kehidupan generasi muda. Dicontohkan, meski Rektor UGM telah mengeluarkan Peraturan Rektor UGM No.77/PII/SK/HT/2005, kampus ini masih menerima bantuan dari perusahaan rokok.
“Mungkin karena law enforcement dan endorsement belum kuat, belum ada sanksi yang diberikan kepada pelanggar, sehingga masih didapati hal tersebut,” katanya.
Kendati demikian, ia menyebutkan FK UGM berupaya konsisten dengan menolak setiap bentuk bantuan dari perusahaan rokok. Menurutnya hal ini sebagai bentuk perjuangan FK UGM memerangi rokok dan memberikan edukasi kepada masyarakat.
(Olivia Lewi Pramesti)
Berdasarkan data dari World Health Organization tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ketiga di dunia setelah China dan India dengan jumlah perokok terbesar yakni lebih dari 68 juta penduduk Indonesia. Hal ini disampaikan oleh peneliti Quit Tobacco Indonesia (QTI), Retna Siwi Padmawati, dalam jumpa persnya di Yogyakarta, Rabu (30/5).
Ia pun menambahkan, kematian akibat rokok per tahunnya mencapai 427.948 orang. "Secara sosiologis bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly smoking. Merokok dianggap sebagai budaya warisan, bukan sebagai masyarakat yang kecanduan," tambahnya.
Rokok memiliki banyak dampak negatif baik dari segi kesehatan dan ekonomi. Penyakit yang ditimbulkan mulai dari pernafasan, paru-paru, dan ejakulasi dini pada pria. Sedangkan dari segi ekonomi, rumah tangga perokok yang menderita sakit akan kehilangan sebagian penghasilan. Rata‐rata 6 persen dari pendapatan perkapita di Indonesia dibelanjakan untuk rokok.
Seiring tingginya dampak merokok, perlu melakukan tindakan nyata untuk mengendalikannya. Di antaranya pelarangan merokok di tempat kerja di semua institusi, penyediaan kawasan/area merokok, layanan konseling berhenti merokok, serta pemberdayaan masyarakat dalam pengurangan dampak buruk.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY Sarminto menuturkan, berdasarkan hasil survei dinas kesehatan provisnsi DIY tahun 2009 menunjukkan bahwa 50 persen remaja SMA dan 30 persen remaja SMP di Yogyakarta pernah mencoba merokok. Angka merokok di DIY juga cukup tinggi mencapai 31 persen dari jumlah penduduk.
Di Yogyakarta, upaya penanggulangan bahaya rokok telah dipayungi oleh Perda nomor 5 tahun 2007 mengenai pengendalian pencemaran udara dan Pergub nomor 42 tahun 2009 tentang kawasan dilarang merokok. "Selanjutnya akan kita ajukan rancangan perda kawasan tanpa rokok di DIY," kata Sarminto.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Titi Savitri menambahkan perlu adanya keterlibatan serius perguruan tinggi untuk menghadapi industri rokok. Pasalnya, industri rokok saat ini dinilai semakin merajai kehidupan generasi muda. Dicontohkan, meski Rektor UGM telah mengeluarkan Peraturan Rektor UGM No.77/PII/SK/HT/2005, kampus ini masih menerima bantuan dari perusahaan rokok.
“Mungkin karena law enforcement dan endorsement belum kuat, belum ada sanksi yang diberikan kepada pelanggar, sehingga masih didapati hal tersebut,” katanya.
Kendati demikian, ia menyebutkan FK UGM berupaya konsisten dengan menolak setiap bentuk bantuan dari perusahaan rokok. Menurutnya hal ini sebagai bentuk perjuangan FK UGM memerangi rokok dan memberikan edukasi kepada masyarakat.
(Olivia Lewi Pramesti)
Oleh: Fahrin Malau.
Hamil di luar nikah masih banyak terjadi. Kasus pembuangan bayi yang
diduga praktek aborsi, merupakan cermin dari penyimpangan reproduksi dan
seks. Sayangnya, berapa banyak kasus hamil di luar nikah dan praktek
aborsi? Tidak ada angka yang pasti. Kasus hamil di luar nikah dan
aborsi, merupakan aib yang harus disembunyikan. Hal ini, masih banyak
dilakukan masyarakat.
Perkembangan teknologi,
salah satu pemicu penyimpang seks. Kita lihat, anak remaja terpapar
informasi teknologi. Ketika warnet berkembang di dalam teknologi,
terdapat informasi pornografi. Remaja dapat dengan mudah mengakses situs
pornografi. Untuk merendam penyiaran pornografi, pemerintah mengambil
kebijakan setiap warnet tidak dibenarkan menampilkan situs pornografi.
Sekarang dengan perkembangan teknologi remaja mengakses pornografi tidak
lagi di warnet tapi di handphone. Remaja mengakses pornografi melihat
kehidupan yang normal dan itu menjadi tren.
Dulu orangtua mengkhawatirkan anak remaja tentang pornografi. Kondisinya sekarang kesempatan untuk mengakses pornografi tidak saja anak remaja, juga anak-anak mulai SD sampai SMP. "Saya punya klien yang mengakses pornografi yang dimulai sejak SMP dan itu tidak pernah terpikir oleh kita," ungkap Psikologi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumatera Utara, Rahmadani Hidayatin, Psi. Satu sisi, aktifitas remaja sudah lebih terbuka berinteraksi di luar rumah dan sekolah. Tran prilaku sudah mulai mengiring mereka kepada seksual menjadi tidak sehat. Misalnya dalam hal berpacaran. Dahulu orang berpacaran setelah tamat SMA. Lalu mundur menjadi SMA. Terus mundur menjadi SMP. Sekarang ada anak-anak masih SD sudah berpacaran. Secara psikologi terjadi percepatan perkembangan ketertarikan pada lawan jenis dan perkembangan seksualitas lebih cepat. Beberapa kasus di PKBI Sumut, pada bulan September dan Oktober yang datang anak remaja status SMP dalam keadaan sudah hamil di luar nikah akibat pacaran. Ini membuktikan aktifitas seksual tidak dibarengi informasi tentang seks secara benar. Minimnya pengetahuan mereka tentang seks, orangtua baru mengetahui keadaan anak kondisi hamil. Kondisi itu yang selalu terjadi. Banyak orangtua yang tidak terima setelah mengetahui anak sudah hamil. Kenyataannya, ketika akan remaja hamil mereka cenderung tidak berani bercerita pada orangtau dan kehamilan berlanjut. Kalau mereka menceritakan kehamilan kepada orangtua, respon yang didapat orangtua panik dan menyalahkan anak. Orangtua jangan memperparah keadaan, justru membantu. Kita paham tidak ada orangtua ingin anaknya bermasalah. Orangtua tidak cukup memberikan fasilitas materi yang diinginkan anak. Orangtua memberikan akses informasi psikologi, persoalan sosial. Apalagi masa remaja masa transisi. Interaksi lingkungan sangat kuat, disitu orangtua berperan karena masa fase kritis. Persoalan hamil di luar nikah berdampak luas. Bagaimana orangtua apakah dapat menerima atau tidak. Kalau orangtua tidak bisa menyelesaikan persoalan, langkah yang dilakukan anak dibuang atau diusir dari rumah. Ketika anak dibuang pertama anak nekat menggugurkan kandungan karena dianggap menjadi persoalan. Kedua anak meneruskan kandungan. Dengan keterbatasan keterampilan, anak butuh kehidupan dan akhirnya terjebak ke dunia prostitusi. Memang tidak semua kasus perempuan melacurkan diri karena kasus hamil di luar nikah, bisa faktor lain. Prostitusi, buat remaja, pekerjaan yang paling mudah untuk melanjutkan kehidupan. Padahal ketika anak mengalami pertumbuhan seksual, orangtua dimana? Apakah orangtua telah memberikan nilai-nilai dan informasi seputar reproduksi dan seksual dengan benar. "Anak hamil di luar nikah tidak bisa disalahkan. Mereka hamil dalam keadaan tidak tahu. Pengetahuan mereka tentang proses kehamilan tidak ada. Mereka tidak tahu perubahan yang mereka alami. Hamil dalam usia dini sangat berpengaruh pada psikologi dan beresiko pada kesehatan. Bayangkan anak kelas tiga SMP hamil tidak bisa digugurkan. Anak berhadapan pada kesehatan fisik dan mentalnya. Usia muda harus mengurus kehamilan yang mereka sendiri tidak siap," ungkapnya. Moral Pencegahan tidak terjadi penyimpangan seks, harus dilakukan sejak dini. Kita bicara saat awal, bagaimana pencegahan dengan menyampaikan informasi kepada mereka. Kalau wadah keluarga sebagai pusat informasi bisa dilakukan orangtua. Sayangnya masih ada orangtua yang menganggap tabu bicara reproduksi atau orangtua tidak paham bagaimana menjelaskan. Orangtua punya peran sangat penting dalam membenteng anaknya dari penyimpangan seks. Masalahnya bagaimana kemampuan orangtua menjelaskan kepada anak. Jangan sampai anak belajar di luar dan tidak punya filter. Ketika belajar di luar, keluarga bisa membantu menyaring informasi yang di dapat di luar. Sekolah alternatif kedua dengan mengembangkan edukasi dan memasukkkan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan. Itu salah satu mengembangkan program yang teredukater. "Saya melihat program pemerintah tidak serius dalam melakukan pencegahan penyimpangan seks. Seharusnya, pemerintah punya program yang dapat memberikan edukasi pada mereka. Kalau ada program hanya sekadar program, tapi tidak melibatkan remaja itu sendiri dalam melaksanakan program . Program tidak hanya dilakukan orang dewasa ke remaja, tapi antar anak remaja dengan remaja. Peran orang dewasa hanya pelatih, konsultan ketika mereka tidak bisa menyelsaikan masalah. Orang dewasa, instansi pemerintah hanya sebagai wadah konsultasi, pusat informasi. Membangun lingkungan kondusip pemerintah bisa mengambil peran seperti puskesmen, institusi sampai kepling untuk membangun program pempinaan remaja di lingkungan masing-masing. Lingkungan lebih dekat dengan warganya. PKK bisa mengambil perannya. Harus dibuat program secara koprehensif. Pertanyaannya sekarang apakah instansi punya program. Kalau ada tidak kelihatan. Dalam program kesehatan reproduksi remaja. Dinkes kerjanya sendiri, begitu juga dengan BKKBN. Padahal Dinkes dan BKKBN bisa saling bekerjsama dengan melibatkan instansi lain dan masyarakat secara bersama. Kematian Perempuan Kematian perempuan, salah satu penyebab dari kehamilan tidak diinginkan atau aborsi yang tidak aman cukup tinggi. Tidak ada data yang ril berapa banyak perempuan korban aborsi tidak aman. Kebanyakan datang ke rumah sakit sudah infeksi, pendarahan. Tidak menutup kemungkinan infensi dan pendarahan disebabkan mencoba melakukan aborsi tidak aman. Berdasarkan data WHO ada 11 persen pada perempuan melakukan aborsi tidak aman. Ketika bicara aborsi negara menilai negatif. Harusnya bagaimana untuk mengetahui sebab kematian aborsi, berapa banyakpenyebabnya. Bila diketahui penyebab dapat melakukan antisipasi hal-hal kehamilan tidak diinginkan. Undang-undang secara tegas mengatakan, tidak boleh melakukan aborsi. Kehamilan harus diteruskan. Kecuali apabila ada indikasi medis yakni kehamilan menganggu kesehatan ibu dan bayi dan kasus pemerkosaan tidak lebih dari enam minggu masih dapat dilakukan aborsi. Pada kasus pemerkosaan sangat tidak mungkin dilakukan aborsi. untuk menentukan apakah betul kasus pemerkosaan, ada mekanisme hukum yang mengatur. Proses ini membutuhkan waktu delapan minggu. Artinya tidak bisa dilakukan aborsi. "Saya setuju, aborsi bukan langkah menyesaikan masalah. Setidaknya aborsi pada kasus tertentu dapat menyelesaikan masalah," terangnya. Kasus perempuan mati melahirkan, ada empat kategori, yakni terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan, terlalu kering dan terlalu rapat. Terlalu muda beresiko kematian. Bila dipaksanakan melahirkan juga resiko kematian jika tidak mendapatkan penangan yang baik. Secara psikologi, anak tidak siap melahirkan dan mengurus anak. Pencegahan secara promosi dan informasi, harus lebih ditingkatkan ditingkatkan. |
|||||||||||||||||
KEHAMILAN TIDAK DI INGINKAN |
Tidak
semua kehamilan menjadi berkah. Bagi beberapa pasangan, terjadinya
kehamilan justru tidak diinginkan lantaran berbagai sebab. Baik
ketidaksiapan psikologis maupun tekanan sosial, seringkali menjadi
alasan mengapa banyak perempuan tidak menghendaki janin yang
dikandungnya. Dalam kasus paling ekstrim, yang terjadi kemudian adalah
upaya untuk mengaborsi janin tersebut. Hal inilah yang menjadi bahasan
dalam talk show “Arisan” bersama Rifka Annisa yang disiarkan Jogja TV,
Sabtu (14/1). Talk show yang mengangkat tema “Kehamilan Tidak
Diinginkan” kali ini menghadirkan tiga nara sumber yaitu Muhammad
Saeroni sebagai perwakilan Aliansi Satu Visi (ASV), Aditya Putra
Kurniawan selaku konselor laki-laki Rifka Annisa, dan Hani Barizatul
Baroroh, tim media Rifka Annisa.
Kehamilan
yang tidak diinginkan menjadi satu fenomena yang cukup penting untuk
disoroti. Persepsi orang pada umumnya, kehamilan tidak diinginkan
seringkali dialami oleh para pasangan akibat hubungan seksual di luar
nikah. Namun, tidak menutup kemungkinan hal ini juga terjadi pada
pasangan yang sudah menikah. Sekitar 60 hingga 80 persen permintaan
aborsi yang dirujuk dari data kedokteran berasal dari pasangan yang
telah menikah, sehingga menunjukkan bahwa tingkat kehamilan tidak
diinginkan juga cukup tinggi pada pasangan di dalam perkawinan.
Memang,
fenomena kehamilan di luar nikah akan lebih bermasalah jika dialami
oleh pasangan di luar nikah karena ada resiko-resiko psikologis maupun
fisik yang utamanya diderita oleh pihak perempuan. Saeroni mengungkapkan
bahwa dalam kebanyakan kasus yang ditangani Rifka Annisa, 45 persen
merupakan kasus kekerasan seksual dalam berpacaran dan 28 persen kasus
kehamilan tidak diinginkan pun dialami oleh pasangan pacaran.
Kehamilan
ini biasanya terjadi akibat hubungan pacaran yang tidak sehat yang
menjadi tren kebanyakan remaja sekarang ini. Beberapa korban melaporkan
bahwa telah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual oleh pasangannya
sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, seringkali yang
masih menjadi solusi andalan para orang tua terkait kehamilan anaknya
ialah menikahkan mereka. Hal ini sebenarnya bukan lantas menjadi solusi
yang efektif karena akan menimbulkan masalah lainnya.
Aditya,
selaku konselor laki-laki, menyoroti bahwa solusi pernikahan untuk
remaja yang hamil di luar nikah justru rentan memicu konflik terutama
ketika menjalani rumah tangga. Umumnya, beberapa pasangan masih
menimbang-nimbang solusi terbaik untuk kehamilan yang tidak
diinginkannya tersebut. Mereka seolah hanya memiliki dua opsi yaitu
aborsi atau menikah di usia muda. Kebanyakan remaja laki-laki yang
menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap pasangannya menyetujui solusi
pernikahan karena dorongan emosional sesaat. Para pelaku mengalami
ketakutan akan dilaporkan kepada pihak berwenang oleh keluarga korban.
Mereka mendapat banyak tekanan dari orang tua sehingga terpaksa
mengambil opsi pernikahan meskipun secara psikologis belum siap.
“Banyak
orang tua yang belum cukup paham bahwa remaja sangat rentan dengan
masalah ketika harus menjalani pernikahan dini. Pada fase remaja
tersebut, secara fisik kelihatannya memang telah dewasa tapi secara
psikis mereka masih anak-anak. Meskipun mereka mengatakan siap menikah
tetapi sebenarnya belum memiliki kematangan untuk menghadapi rumah
tangga,” tambah Aditya.
Hani
selaku tim media Rifka Annisa, memberikan analisis bahwa fenomena
kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja dapat terjadi salah
satunya karena pengaruh media. Banyak konten media yang mengarahkan
terjadinya kekerasan seksual seperti perkosaan. Merebaknya pengaruh
video porno di kalangan remaja menjadi salah satu pemicu terjadinya
fenomena perkosaan tersebut. Bahkan jika kita mencermati tayangan di
televisi saat ini, banyak sekali acara yang menyuguhkan adegan pacaran
seperti ciuman dan pelukan yang rentan ditiru oleh anak kecil sekalipun.
Ketika konten tersebut menjadi konsumsi remaja, yang terjadi justru
pengadopsian perilaku tersebut dalam gaya berpacaran. Awalnya bermula
dari ciuman namun selanjutnya dapat mengarahkan pada hubungan seksual.
Hal ini rentan sekali menimbulkan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), ketika
diikuti pemaksaan oleh salah satu pihak. Jika telah terjadi kehamilan
pada remaja lantaran hubungan seksual dalam berpacaran maka yang rentan
menjadi korban adalah pihak perempuan. Kehamilan di luar nikah selain
menjadi aib bagi remaja perempuan juga menjadi dilema sebab tidak ada
jaminan perlindungan hukum yang cukup kuat untuk membela remaja
perempuan.
Banyak
permasalahan yang muncul lantaran kehamilan yang tidak diinginkan di
usia remaja. Selain masalah psikologis yang banyak disoroti di atas,
masalah yang tidak kalah krusial ialah masalah kesehatan reproduksi dan
kemungkinan munculnya penyakit menular seksual. Usia remaja, sekitar 22
tahun ke bawah, menjadi fase dimana organ-organ seksual belum cukup
matang untuk digunakan sehingga terjadinya hubungan seksual di usia
remaja rentan bermasalah. Saeroni menegaskan bahwa dalam hal ini
pendidikan kesehatan reproduksi perlu diupayakan sejak dini agar remaja
dapat mengantisipasi kehamilan tidak diinginkan dan segala masalahnya.
Perlu adanya lembaga yang membantu remaja untuk memperoleh hak-hak
pengetahuan akan kesehatan reproduksi.
“Sejauh
ini Aliansi Satu Visi (ASV) telah berupaya untuk menyediakan layanan
kepada remaja terkait pendidikan kesehatan reproduksi baik melalui
lembaga sekolah maupun luar sekolah. Anak-anak perlu diberikan
pendidikan seksual sejak dini bagaimana cara memperlakukan organ-organ
vitalnya,” tegas Saeroni memaparkan pengalamannya terlibat dalam ASV.
Setibanya
pada fase remaja pengetahuan tersebut dapat membantu memproteksi diri
mereka dari melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pertimbangan
konsekuensi-konsekuensi yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain. Menurutnya, Indonesia perlu mengacu kebijakan di negara maju
tentang penerapan kurikulum pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi
sejak dini. Memang di beberapa sekolah telah mencoba menjadikan
pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ini sebagai pilot project, namun
hal ini belum bisa diterapkan secara nasional. Kebijakan semacam ini
perlu diterapkan dalam skala nasional yang kemudian diikuti oleh
mentoring kesehatan reproduksi remaja, sosialisasi tentang healthy choice, serta sosialisasi bagaimana membangun konsep diri remaja.
Di
sisi lain, Aditya mengakui bahwa pendidikan seksual bagi remaja masih
dianggap tabu di Indonesia. Pendidikan seksual justru membuat para orang
tua semakin cemas. Oleh karenanya sekali lagi para orang tua perlu
dipahamkan dan dilibatkan dalam proses ini. Maka, upaya untuk mencegah
kekerasan seksual maupun kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan
remaja salah satunya adalah dengan membuka komunikasi yang intensif
antara orang tua dan remaja. Sudah selayaknya orang tua menjadi teman
bagi remaja yang serba ingin tahu. Mereka dituntut pula untuk dapat
menjelaskan dengan cara yang bijak terkait keingintahuan remaja akan
masalah seksual dan reproduksi. Dengan membuka diri terhadap remaja dan
sesekali memperbaiki cara berkomunikasi dengan mereka, para orang tua
dapat menempatkan dirinya sebagai partner untuk
mengatasi masalah pergaulan remaja. Sehingga cara ini dapat memproteksi
remaja dari terjadinya kekerasan seksual maupun kehamilan yang tidak
diinginkan